Pungli Masih Mewarnai Pelayanan Publik di Pengadilan, MA Diminta Tegas
JAKARTA (TopNews) – Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI) merilis data temuan pungutan liar (pungli). Rilis itu disampaikan dalam sebuah diskusi menyambut Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember 2017.
Temuan itu terjadi pada layanan publik pengadilan di lima wilayah yakni Medan, Banten, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Ruang lingkup hasil riset layanan publik pengadilan fokus pada administrasi perkara. Hasilnya, dua jenis layanan publik pengadilan dinilai sangat rawan terjadinya pungli, yaitu menyangkut pendaftaran surat kuasa dan perolehan salinan putusan.
“Dari 77 narasumber yang kami wawancarai, pungutan liar terhadap layanan pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan dilakukan oleh panitera pengganti dan atau panitera muda hukum, ‘’ kata Peneliti MaPPI FHUI Siska Trisia dalam diskusi di Bakoel Coffie Jakarta, (8/12/17).
Dia mengatakan, modus pungli yang sering digunakan oknum aparat pengadilan seperti menetapkan biaya di luar ketentuan dan tidak dibarengi tanda bukti bayar; tidak menyediakan uang kembalian sebagai imbalan atau uang lelah; memperlama pelayanan jika tidak memberi uang tip atau uang yang diminta. Dari hasil pemetaan di lima daerah itu biaya pungutan surat kuasa berkisar antara Rp10.000 per surat kuasa hingga lebih Rp100.000 per surat kuasa. Sementara untuk mendapatkan salinan putusan biaya dipatok mulai Rp 50.000 per putusan hingga Rp 500. 000 lebih. Tidak hanya MaPPI, dalam beberapa tahun terakhir, Ombudsman RI juga melansir data temuan hampir serupa terkait penyimpangan layanan publik pengadilan (pungli). Misalnya, laporan penanganan perkara yang berlarut-larut, praktik pencaloan, penyimpangan prosedur dalam penyerahan salinan putusan dan petikan putusan. Bahkan, menurut catatan Ombudsman pada periode 2014-2015, laporan pungli di pengadilan ini menempati urutan ke-6 terbanyak yang diadukan masuk ke Ombudsman.
Misalnya, pada tahun 2014, Ombudsman menerima 240 laporan pengaduan, tahun 2015 menerima 255 laporan pengaduan. “Hasil temuan Ombudsman menunjukan peningkatan angka laporan terkait masalah pelayanan publik di pengadilan. Yang banyak juga berkaitan dengan pungutan liar, ‘’ kata Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu dalam kesempatan yang sama.
Dia meyayangkan praktik pungutan liar masih sering terjadi di lingkungan pengadilan negeri. Padahal, Mahkamah Agung (MA) sudah cukup banyak menerbitkan berbagai peraturan dalam rangka mempermudah akses layanan pengadilan dan bertujuan memberantas praktik pungutan liar di pengadilan. Ninik menyebut Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) No. 46 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Publik di Pengadilan. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, MA sendiri sudah berkomitmen memberantas praktik korupsi di pengadilan dan menindak tegas oknum-oknum yang melakukan praktik tersebut.
“Praktik ini tentu merugikan MA dan pengadilan yang berada di bawahnya, sehingga MA harus melakukan reform dan mengubah sistem, ‘’ katanya. Menghambat akses keadilan menurut peneliti MaPPI FHUI lain, Muhammad Rizaldi sebagai bagian bentuk korupsi, praktik pungutan liar ini tentu menghambat akses keadilan bagi masyarakat. Hambatan ini dapat muncul disebabkan adanya biaya layanan peradilan lebih tinggi yang seharus dikeluarkan pencari keadilan.
“Menurut beberapa responden, mereka menganggap apabila tidak membayar pungutan liar akan berdampak pada kualitas layanan pengadilan,” katanya. Selain itu, MA harus memaksimalkan penerapan pembayaran yang terdigitalisasi/terkomputerisasi dengan sistem satu pintu. Hal ini untuk membatasi pertemuan langsung antara pemberi dan penerima layanan yang berpotensi menjadi celah pungli (korupsi).
Tak kalah pentinya, MA wajib menegakkan prosedur pengawasan dan pembinaan aparatur pengadilan nonhakim secara tegas dan langsung melalui penegakan kode etik dan sanksi sebagaimana diatur PERMA No. 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya.
“MA perlu melibatkan pihak-pihak lain dalam upaya pembenahan pelayanan publik di Pengadilan, seperti Ombudsman RI dan KPK,” ujarnya. (syam/TN)
Berita ini sebelumnya telah dimuat NusantaraExpress.Com
Temuan itu terjadi pada layanan publik pengadilan di lima wilayah yakni Medan, Banten, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Ruang lingkup hasil riset layanan publik pengadilan fokus pada administrasi perkara. Hasilnya, dua jenis layanan publik pengadilan dinilai sangat rawan terjadinya pungli, yaitu menyangkut pendaftaran surat kuasa dan perolehan salinan putusan.
“Dari 77 narasumber yang kami wawancarai, pungutan liar terhadap layanan pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan dilakukan oleh panitera pengganti dan atau panitera muda hukum, ‘’ kata Peneliti MaPPI FHUI Siska Trisia dalam diskusi di Bakoel Coffie Jakarta, (8/12/17).
Dia mengatakan, modus pungli yang sering digunakan oknum aparat pengadilan seperti menetapkan biaya di luar ketentuan dan tidak dibarengi tanda bukti bayar; tidak menyediakan uang kembalian sebagai imbalan atau uang lelah; memperlama pelayanan jika tidak memberi uang tip atau uang yang diminta. Dari hasil pemetaan di lima daerah itu biaya pungutan surat kuasa berkisar antara Rp10.000 per surat kuasa hingga lebih Rp100.000 per surat kuasa. Sementara untuk mendapatkan salinan putusan biaya dipatok mulai Rp 50.000 per putusan hingga Rp 500. 000 lebih. Tidak hanya MaPPI, dalam beberapa tahun terakhir, Ombudsman RI juga melansir data temuan hampir serupa terkait penyimpangan layanan publik pengadilan (pungli). Misalnya, laporan penanganan perkara yang berlarut-larut, praktik pencaloan, penyimpangan prosedur dalam penyerahan salinan putusan dan petikan putusan. Bahkan, menurut catatan Ombudsman pada periode 2014-2015, laporan pungli di pengadilan ini menempati urutan ke-6 terbanyak yang diadukan masuk ke Ombudsman.
Misalnya, pada tahun 2014, Ombudsman menerima 240 laporan pengaduan, tahun 2015 menerima 255 laporan pengaduan. “Hasil temuan Ombudsman menunjukan peningkatan angka laporan terkait masalah pelayanan publik di pengadilan. Yang banyak juga berkaitan dengan pungutan liar, ‘’ kata Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu dalam kesempatan yang sama.
Dia meyayangkan praktik pungutan liar masih sering terjadi di lingkungan pengadilan negeri. Padahal, Mahkamah Agung (MA) sudah cukup banyak menerbitkan berbagai peraturan dalam rangka mempermudah akses layanan pengadilan dan bertujuan memberantas praktik pungutan liar di pengadilan. Ninik menyebut Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) No. 46 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Publik di Pengadilan. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, MA sendiri sudah berkomitmen memberantas praktik korupsi di pengadilan dan menindak tegas oknum-oknum yang melakukan praktik tersebut.
“Praktik ini tentu merugikan MA dan pengadilan yang berada di bawahnya, sehingga MA harus melakukan reform dan mengubah sistem, ‘’ katanya. Menghambat akses keadilan menurut peneliti MaPPI FHUI lain, Muhammad Rizaldi sebagai bagian bentuk korupsi, praktik pungutan liar ini tentu menghambat akses keadilan bagi masyarakat. Hambatan ini dapat muncul disebabkan adanya biaya layanan peradilan lebih tinggi yang seharus dikeluarkan pencari keadilan.
“Menurut beberapa responden, mereka menganggap apabila tidak membayar pungutan liar akan berdampak pada kualitas layanan pengadilan,” katanya. Selain itu, MA harus memaksimalkan penerapan pembayaran yang terdigitalisasi/terkomputerisasi dengan sistem satu pintu. Hal ini untuk membatasi pertemuan langsung antara pemberi dan penerima layanan yang berpotensi menjadi celah pungli (korupsi).
Tak kalah pentinya, MA wajib menegakkan prosedur pengawasan dan pembinaan aparatur pengadilan nonhakim secara tegas dan langsung melalui penegakan kode etik dan sanksi sebagaimana diatur PERMA No. 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya.
“MA perlu melibatkan pihak-pihak lain dalam upaya pembenahan pelayanan publik di Pengadilan, seperti Ombudsman RI dan KPK,” ujarnya. (syam/TN)
Berita ini sebelumnya telah dimuat NusantaraExpress.Com
Pungli Masih Mewarnai Pelayanan Publik di Pengadilan, MA Diminta Tegas
Reviewed by samsul huda
on
December 10, 2017
Rating:
Post a Comment